Belajar Dari Ibrahim
Ceritanya saya sholat jum’at di
masjid di lingkungan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di jalan Gatot
Subroto. Kenapa saya sampai di masjid ini tidak lain karena menemani istri yang
melakukan verifikasi dokumen untuk mengikuti ujian CAT CPNS LIPI besok harinya.
Tak ketinggalan pangeran kecil, Adzka-
pun kami bawa yang ketika tulisan ini ditulis dia masih berumur satu bulan duapuluhsatu hari.
Hari
ini hari Jum’at, 11 Okt. 13, Khatib membahas seputar pelaksanaan haji dan
kurban. Biasanya khatib akan bercerita
tentang kisah nabi Ibrahim As dan Ismail As yang tentu sudah hapal di luar
kepala oleh jama’ah. Namun kali ini berbeda, Khatib membahasnya dengan
menggunakan sudut pandang lain sehingga saya dan jama’ah tidak mengantuk
jadinya.
Berkurban
merupakan sebuah ritual yang telah ada sebelum Nabi Muhammad, bahkan berkurban
itu sendiri telah ada semenjak Nabi adam. Ketika dua putranya, Habil dan Qabil
diperintahkan untuk berkurban. Habil memilih hewan yang gemuk lagi sehat untuk
dikurbankan sedangkan Qabil lebih memilih hewan kurus dan sakit2an. Tentu saja Habil
diterima dan kurban Qabil ditolak. Hal itu dapat dilihat dari kehidupan mereka
dimana habil hidup lebih sejahtera dibanding Qabil.
Ibadah
haji merupakan rangkaian ritual2 yang penuh makna. Satu diantaranya adalah
Tawaf. Tawaf merupakan kegiatan mengelilingi Ka’bah dimana posisi ka’bah berada
di sebelah kiri. Jadi gerakannya berlawanan dengan arah jarum jam. Orang yang
tidak tau maknanyamungkin bertanya kenapa posisi ka’bah itu di sebelah kiri, padahal
menurut pandangan kita sebelah kanan lebih baik. Hal ini tentu ada maknanya
yakni karena gerakan tersebut seperti gerakan rotasi bumi dan alam semesta.
Ahli Fisika pun mengatakan bahwa setiap benda itu berputar bertasbih kepada
tuhanNya.
Sa’i
yang kita pahami selama ini mungkin berlari lari kecil antara bukit Shofa dan
Marwah. Namaun itu adalah suatu perjuangan yang berat dari seorang ibu untuk
menemukan air di padang pasir yang tandus bangi anaknya. Ketika Hajar sampai di
bukit Shofa ia melihat ada sumber air di Marwah maka dengan sekuat tenaga ia
pun berlari ke bukit marwah,namun ternyata itu hanya fatamorgana. Ia pun
melihat sumber air di shofa maka ia pun berlari tapi aia mendapati hal yang
sama. Perjuangan ibu inipun akhirnya mendapat balasan berupa air zam-zam. Maka siapa
yang bekerja keras pasti akan mendapat balasan yang baik. Man Jadda wa jadda
Tentang
peristiwa penyembelihan Ismail kita semua pasti sudah tau, tapi di sini Ibrahim
menunjukkan sisi demokrasi dalam mendidik anak. Bahwa dia berdiskusi dulu
dengan Isamil dengan meminta tanggapannya. Adakalanya Ibrahim Otoriter terhadap
anaknya yakni masalah yang berhubungan dengan Aqidah. Dan adakalanya ia
bersifat permisif yakni membiarkan anaknya dengan tetap mengontrolnya.
Sejatinya
masih banyak nilai yang bisa kita teladani dari orang-orang hanif terdahulu.
Djakarta, 11 okt 2013
Komentar
Posting Komentar