Sebelum Jakarta Benar-Benar tenggelam
Aah….! Nya’ banjir!
Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk
Ruméh ané kebakaran garé-garé kompor mleduk
Ané jadi gemeteran, wara-wiri keserimpet
Rumah ané kebanjiran gara-gara got mampet
Aa~ti-ati kompor meledug
Aa~ti ané jadi dag-dig-dug (heh.. jatuh duduk)
Aa~yo-ayo bersihin got
Jaa~ngan takut badan blépot
Coba enéng jangan ribut, jangan padé kalang kabut
Aarrrgh!!…
Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk
Ruméh ané kebakaran garé-garé kompor mleduk
Ané jadi gemeteran, wara-wiri keserimpet
Rumah ané kebanjiran gara-gara got mampet
Aa~ti-ati kompor meledug
Aa~ti ané jadi dag-dig-dug (heh.. jatuh duduk)
Aa~yo-ayo bersihin got
Jaa~ngan takut badan blépot
Coba enéng jangan ribut, jangan padé kalang kabut
Aarrrgh!!…
Pernahkah kita
mendengar lirik lagu di atas?. Ya, benar, lagu tersebut diciptakan dan
sekaligus dinyanyikan oleh almarhum Benyamin Sueb.
Saya tertarik untuk
membuat tulisan ini karena saat ini Jakarta dilanda hujan dan akibatnya
beberapa terendam banjir. Kalau kita cermati, banjir sendiri bukanlah masalah baru
bagi Jakarta. Banjir seakan telah menjadi ikon bagi Jakarta. Bahkan ada juga
yang mengatakan “bukan Jakarta namanya
kalo ga banjir”. Bukan bermaksud apa-apa tapi memang benar begitu adanya. Yang
menjadi pertanyaan adalah mengapa masalah ini tak kunjung selesai padahal
berbagai macam cara telah dilakukan pemerintah DKI termasuk membangun banjir kanal
barat dan timur.
Ada orang berpendapat
bahwa masalah banjir di Jakarta tidak akan pernah selesai. Siapapun yang
memimpin Jakarta tidakakan mampu mengatasi banjir. Hal ini tentu menjadi
tantangan bagi gubernur Jakarta yang baru saja terpilih Ir. Joko Widodo.
Namun, seharusnya
masalah tersebut tidak lah arif jika ditangani oleh gubernur sendiri. Peran serta
masyarakat justru lebih dituntut. Dengan jumlah warga Jakarta yang banyak tentu
saja akan memproduksi sampah yang banyak setiap harinya. Peringatan untuk
membuang sampah pada tempatnya merupakan peringatan yang telah didengungkan
berabad-abad silam tapi tetap susah untuk diaplikasikan.
Kesadaran untuk menjaga
keseimbangan lingkungan sangatlah penting. Dengan tanah yang masih tersisa mari
kita jaga kelestarian alam. Jadikanlah alam sebagai sahabat bagi kita bukan
sebagai tempat memuaskan nafsu belaka.
Nampaknya filososi
pendaki gunung bisa kita terapkan di manapun kita berada “take nothing but picture, leave nothing but footprints” , demi
menjaga lingkungan tempat tinggal kita agar terhindar dari banjir, tanah
longsor, dsb.
Jakarta
Timur, 24 November 2012
Refleksi
anak rantau
Komentar
Posting Komentar